Staf pengajar arsitektur Universitas Brawijaya Dr. Ir. Galih Widjil Pangarsa mengatakan, arsitektur tradisional secara fisik sudah mati. Mengapa? “Karena tidak mungkin manusia modern sekarang dapat hidup dengan ukuran-ukuran masa lalu.
Tidak ada satupun manusia modern yang dapat bertahan hidup jika harus kembali hidup di masa sebelumnya. Menurutnya, dalam berarsitektur, yang harus dilihat adalah pemaknaannya. Maka, yang harus dihidupkan, kata Galih, adalah spiritnya, nilai-nilainya. Untuk apa? Untuk dikontekskan dengan situasi zaman sekarang dan menjawab kebutuhan manusia pada zaman sekarang.
Banyak arsitek, menurut Galih sudah memiliki citarasa yang disebut arsitektur Nusantara tetapi sering tidak menyadarinya. “Karena secara bawah sadar seorang arsitek sudah pernah melihatnya. Ketika ia menuangkannya ke dalam karya desain, alam bawah sadarnyalah yang menuntunnya,” ujarnya.
Ambil contoh ornamen melingkar seperti ukiran. Arsitek kondang dunia yang menjadi idola para mahasiswa arsitektur, Le Corbussier, memiliki salah satu ciri khas berbentuk melingkar ini. Menurut Galih, itu bukan ciri yang dapat diidentifikasi sebagai cirikhas Corbussier. Arsitek seperti Eko Prawoto juga memiliki beberapa desain bangunan yang menggunakan pola ini.
Galih menambahkan, bentuk ornamen yang melingkar semacam itu bahkan ditemukan hampir di seluruh arsitektur di bumi Nusantara. Pola ini sebenarnya merupakan pola yang diadaptasi dari apa yang ditemukan oleh manusia di alam.
Demikian juga desain-desain karya arsitek seperti Yu Sing, Ridwan Kamil, Ary Indra. Menurut Galih, kalau dilihat dari bentuk bangunannya, apa yang dibuat oleh para arsitek tersebut sedikit banyak mengadaptasi apa yang telah ada di Nusantara, hanya saja dikontekstualisasi kembali dalam situasi kekinian.
Foto: iDEA/Alois Wisnuhardana
0 komentar:
Post a Comment