AYO BERBAGI INFO MU..!

KABAR TERBARU DAN TERKINI DI HaiArsitk

Dari Etnografi ke Teknologi : Dalam Ranah Arsitektur Tradisional Nusantara Penjelajahan Awal

Yuswadi Saliya | Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia – LSAI | yewe1506(at)gmail.com
01 Pembuka
Makalah ini akan menyoroti segi-segi yang dipandang penting dari setiap kata kunci atau pokok-pokok bahasan seperti yang dapat diturunkan dari preposisi seminar. Mudah dipahami bahwa kata-kata kunci itu berkaitan satu dengan lainnya, sehingga adanya rumusan tema, Sejarah Perkembangan Arsitektur Tradisional, dapat membantu memusatkan perhatian hanya kepada beberapa segi saja (di samping oleh keterbatasan penguasaan bahan-bahan yang begitu luas oleh penulis).
Makalah ingin mengangkat isu teknologi di lingkungan tradisional dan bagaimana teknologi itu diperlakukan di dalam suatu komunitas. Tanpa data lapangan, makalah ini hanya sampai pada gagasan-gagasan penjelajahan yang masih harus diikuti oleh data-data empiris. Pembahasan selanjutnya diarahkan pada penjelajahan kemungkinan-kemingkinan memanfaatkan kearifan lokal yang secara teoritis dimiliki oleh setiap komunitas di muka bumi ini.
02 Arsitektur Tradisional (dan) Nusantara
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa arsitektur tradisional adalah arsitektur yang dibangun berdasarkan atau sesuai dengan kaidah-kaidah tradisi yang dianut. Dengan demikian, kata nusantara merupakan keterangan berkenaan dengan kawasan yang menganut tradisi itu. Secara umum, kata nusantara diartikan sebagai kepulauan yang berada di antara benua Asia dan Australia (Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain, 1996), atau sebagai padanan kepulauan Indonesia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005; Kamus Umum Bahasa Indonesia Purwadarminta, 2006). Penemu kata Nusantara dalam pustaka sejarah Indonesia modern adalah Dr. Setiabudi (Ernest Francois Douwes Dekker 1879-1930). Definisinya mencakupi wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, berbeda dengan pemahaman nusantara seperti yang dimaksud dalam naskah Sumpah Palapa semasa kerajaan Majapahit, yakni seluruh kawasan taklukannya dengan pusatnya di pulau Jawa (gagasan kekuasaan konsentris, y.i. pulau-pulau (=nusa) yang lain (=antara) dari pulau Jawa; gagasan yang juga dianut Hindia Belanda, y.i. konsep Jawa dan Luar Jawa) (Lapian dalam Chambert-Loir, et al. 1999:79-92). Kata nusantara juga dipakai Ki Hadjar Dewantara dalam pengembangan konsep pendidikannya ketika dihadapkan dengan sistem pendidikan Belanda. Ada semacam tuntutan-tuntutan khusus yang harus tetap dipertahankan, seperti yang dilakukan dalam pesantren hingga kini yang tidak hanya mengacu ke landasan keagamaan saja tapi juga tanggapan terhadap tuntutan lingkungannya.
Dr. Widjil Galih Pangarso (2006), pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya, Malang, menyebut Nusantara sebagai kawasan kepulauan yang tersebar di samudra Pasifik, yakni kawasan yang semestinya dikaji dengan metodologi tersendiri, tidak dengan metodologi Barat (Eropa), sebab hanya dengan begitulah berbagai aspek lokal dapat muncul. Desertasi Prof. Josef Prijotomo (2006), “(Re-) Konstruksi Pengetahuan Arsitektur Jawa Menurut Kawruh Kalang dan Kawruh Griya,” dan sudah diterbitkan dengan judul (Re-) Konstruksi Arsitektur Jawa, Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan (Surabaya: Wastu Lanas Grafika, 2006) juga mengemukakan semangat yang sama; arsitektur Jawa merupakan bagian dari Arsitektur Nusantara yang sepantasnya dikaji dengan cara tersendiri, tidak mengikuti pola pikir yang sejauh ini sudah mendominasi semua bentuk kajian arsitektur di dunia dan juga di Indonesia. Pengajar Jurusan Arsitektur dari Institut Teknologi 10 November Surabaya ini, sudah sejak lama mengingatkan perkara ini dalam berbagai kesempatan diskusi, seminar, dan tulisan-tulisan di media massa.
Dalam dasawarsa terakhir ini, gagasan arsitektur nusantara itu semakin banyak dibicarakan. Tokoh-tokoh yang dengan bersemangat menyuarakannya kebanyakan berasal dari Jawa Timur dan Bali. Suatu kebetulan atau bukan tidaklah begitu penting, namun gejala ini boleh jadi menunjukkan suatu polarisasi di Indonesia (baca: Jawa): upaya melepaskan diri dari hegemoni Jakarta (dan Bandung), y.i. kawasan yang dipandang mengikuti dengan setia pendekatan-pendekatan Barat dalam kajian arsitekturnya. Gejala ini mengingatkan orang pada polemik Seni Rupa Bandung (DPSR-ITB) melawan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogya pada tahun 1960-an. Begitu pula dalam ranah sastra, bukan hanya pada tataran ideologis melainkan juga dalam dunia penerbitannya, misalnya dominasi Kompas dan Tempo/Komunitas Utan Kayumelawan kelompok sastrawan dan penerbit-alternatif dari Yogyakarta (dan sekitarnya). Sekalipun belum sampai muncul dalam bentuk polemik, namun gejala ini kiranya dapat dipandang sebagai suatu peringatan akan adanya sisi dunia arsitektur yang selama ini luput dari perhatian para peneliti atau pun pemerhati. Dominasi arsitektur modern, yang sejauh ini harus diakui juga sebagai suatu yang kita warisi, merupakan suatu kenyataan yang perlu dikaji secara kritis dan terbuka. Sebab, sesungguhnya arsitektur modern pun mengandung semangat keterbukaan, apalagi sesudah memasuki tahapan pasca modernisme, sebagaimana yang diharapkan juga dengan merujuk ke keragaman arsitektur (di) Nusantara, baik substantif maupun prosedural. Para pemikir modernis dan sederet turunannya pun, akhir-akhir ini mulai merambah kawasan yang selama ini tak terjamah. Disiplin etnografi, misalnya, tampak mulai memasuki ranah pascamodern dengan sangat terbuka dan bebas tanpa beban, sekalipun di belakangnya telah tersusun tradisi keilmuan yang panjang dan mapan. Namun, tampaknya, perbincangan mengenai polarisasi ini membutuhkan ruang dan kesempatan tersendiri.
Kalau pada kesempatan ini kata arsitektur telah sama-sama diketahui, maka hal yang membutuhkan penjelasan, tampaknya justru kaitannya dengan pengertian tradisi. Kata tradisi berasal dari bahasa Latin tradere, yang berarti melemparkan, mengantarkan, atau menyeberangkan. Tradisi sebagai nomina berarti kumpulan pedoman, peraturan, atau kaidah yang diseberangkan (diwariskan) dari satu angkatan (generasi) ke angkatan berikutnya. Dalam kehidupan sehari-hari, proses terpenting adalah apa yang dinamakan enkulturasi, yakni proses pembudayaan yang berlangsung terus menerus sejak seseorang dilahirkan hingga kematiannya. Seorang anak akan harus belajar dan/atau diajari berbagai tatacara dan tatanilai yang ada (dianut) dalam lingkungan kehidupan sehari-hari selama hidupnya. Apabila seorang anak atau seseorang gagal melakukannya dalam beberapa hal—secara ekstrem, mungkin juga dalam semua hal—maka jadilah dia seorang pembangkang di lingkungannya (social deviant). Kemungkinan untuk gagal sangat besar dan kerap terjadi. Namun, kegagalan semacam itu tidak harus segera dibaca sebagai sesuatu yang buruk. Apalagi kalau dia, umpamanya, sedang melakukan pembaharuan atau sekadar memperkenalkan gagasan baru di dalam masyarakatnya. Para arsitek, sebagai pekerja kreatif, seringkali menghadapi keadaan seperti itu melalui atau sebagai konsekuensi dari karya-karya yang dihasilkannya. Dewasa ini, gejala seperti itu semakin kerap terjadi seiring dengan meningginya mobilitas baik sosial maupun fisik di dunia modern. Persebaran informasi, termasuk di dalamnya proses pendidikan, atau kemudahan berpindah (migrasi) berkat kemajuan teknologi transportasi, telah memudahkan seseorang—atau, sebaliknya, lingkungannya—untuk berubah dengan cepat hingga terjadi berbagai bentuk kesenjangan, ketegangan, atau gejolak. Secara lebih khusus, untuk hal yang terakhir ini, proses yang terjadi disebut akulturasi.
Sesungguhnya, di antara sejumlah proses yang oleh Koentjaraningrat disebut sebagai dinamika masyarakat dan kebudayaan itu, hemat saya akulturasi inilah yang merupakan tajuk paling penting dan strategis, untuk dicermati di Indonesia, sekarang ini dan selanjutnya. Dan untuk ini, hemat saya dunia arsitektur membutuhkan bantuan serius dari dunia etnografi.
03 Teknologi
Kalau teknologi dapat diartikan sebagai sistem peralatan, seperti yang dirumuskan Kluckhohn sebagai bagian dari cultural universals-nya, maka benarlah adanya bahwa setiap komunitas memiliki sistem teknologinya sendiri. Barang tentu, rumusan unsur-unsur kebudayaan ini diturunkan sebelum terjadi proses-proses saling mempengaruhi. Boleh jadi beberapa komunitas sama-sama menciptakan sejenis tombak secara independen, namun bagaimana cara membuatnya dan bagaimana bentuk akhirnya, niscaya akan terdapat beberapa perbedaan. Alih-alih membuat tombak dari bambu, komunitas yang di kawasannya tidak ditumbuhi bambu tentu akan membuatnya dari bahan lain, dari tulang belulang hewan buruannya, misalnya, atau kayu dengan matatombak dari batu, dan itu pun dilaksanakan dengan caranya sendiri. Komunitas yang berdiri sendiri di tengah suatu lingkungan tertentu, niscaya akan berupaya menciptakan segala sesuatu yang diperlukan dari bahan-bahan yang banyak terdapat di kawasannya demi kelangsungan hidup komunitasnya itu. Dari gambaran seperti itu, jelaslah bahwa setiap unsur budaya itu saling berkaitan. Demikianlah, misalnya, sistem peralatan akan berkaitan dengan sistem pengetahuan dan sekaligus juga, tentu saja, dengan sistem mata pencahariannya. Sistem bahasanya pun dibina untuk dapat memelihara atau mengembangkan sistem pengetahuan serta sistem peralatan yang sudah ada, sebagaimana juga berguna untuk penyebaran atau pelestarian sistem kesenian dan religinya.
Di negara-negara maju, sistem pengetahuannya dibangun berdasarkan dalil-dalil yang diturunkan dari berbagai hukum alam. Bagaimana hukum-hukum alam itu ditemukan merupakan kisah perburuan yang panjang, melompat-lompat dari satu orang (ilmuwan) ke ilmuwan yang lain, dari satu generasi pemburu yang rajin mencatat ke generasi berikutnya yang gemar membaca, bahkan dari satu bangsa ke bangsa lain, sambung menyambung dari abad ke abad. Dari kiprah kajian itu apa yang semula dikenali sebagai sistem pengetahuan melahirkan sistem pengetahuan yang lebih khusus, yakniilmu/sains. Langkah ke arah pengembangan peradaban seperti itu tentulah tidak berdiri sendiri. Seperti yang dikatakan Van Peursen, dari alam pikiran yang berpolakan mitologi, y.i. ketika manusia dan benda berada dalam kesatuan yang utuh, manusia berubah menjadi subyek dan alam benda menjadi obyek (ontologisme). Rahmat atau laknat, terciptanya gejala obyektif dan subyektif selalu mengiringi gagasan ontologisme. Sains, seperti diketahui, mensyaratkan proses-proses obyektif. Perubahan paradigmatik seperti ini telah menumbuhkan keberanian (percaya-diri) pada diri makhluk manusia untuk mengolah isi alam raya ini demi kemaslahatan dan keselamatan (survival) umat manusia (fungsionalisme). Telah diketahui bahwa budaya baca-tulislah yang mempercepat langkah maju itu. Percepatan pengembangannya dipacu lebih lanjut dengan temuan mesin cetak dan kertas (renaisan), dan sekarang dengan lompatan raksasa digitasi ke dunia cyberberkat kemajuan elektronika. Gejala persebaran informasi ini—dan itu berarti persebaran ilmu dan pengetahuan—cenderung menyeragamkan cara orang memandang alam; pandangan yang obyektif menghapus perbedaan-perbedaan lokal, setidak-tidaknya akan mengerdilkannya. Apalagi, pada tahap ini batas antara ilmu dengan teknologi tinggal setebal rambut saja. Penghalangnya—ini pun kalau boleh disebut begitu—tinggallah sebatas perhitungan ekonomi, dari meja laboratorium ke ruang pabrik dan produksi lalu masuk ke jaringan distribusi dalam sekali kibas. Dewasa ini, semua upaya pengembangan ilmu nyaris akan menimbang pemanfaatannya sekaligus. Dan itu berarti bahwa pengembangannya selalu—setidak-tidaknya begitulah keadaannya di dalam sistem ekonomi dunia yang dominan dewasa ini—dibayangi oleh teknologi, y.i. teknik untuk memanfaatkannya. Teknologi seperti ini menembus batas-batas komunitas, dengan cara baik-baik (suka sama suka) melalui proses pengalihan evolutif yang terencana, atau tidak-baik (suka tidak suka harus suka) melalui pemaksaan kolonisasi atau, sekarang ini, melalui pendekatan hegemonik yang sangat canggih, memanfaatkan tatanan kelembagaan dunia penuh jebakan dan perangkap. Itulah teknologi modern.
Di antara tujuh ciri yang dikenali Boorstin, yang dewasa ini menggejala pada setiap komunitas yang mengembangkan dan memanfaatkan teknologi modern, pelapukan baru, hemat saya merupakan isu yang paling menggegerkan. Boorstin menulis:
Hal yang paling menarik adalah perubahan sikap terhadap perubahan itu sendiri. Kini negara-negara seolah dapat dibedakan bukan berdasarkan warisan budaya atau jumlah monumennya (apa yang semula dinamakan sebagai peradabannya), melainkan berdasarkan percepatan perubahannya. Negara-negara yang cepat “berkembang” adalah yang paling cepat melapukkan (melupakan) warisan budayanya. Kalau untuk membangun peradaban diperlukan waktu berabad-abad, pemalihan dari negara “belum berkembang” ke “berkembang” berlangsung hanya dalam hitungan dasawarsa.
Memang, pengamatan Boorstin ini ditulis tiga puluh tahun yang lalu, ketika sisa-sisa optimisme akan teknologi-modern masih menggebu-gebu. Sekarang, berkat angin globalisasi dan paradoks yang dibawakannya, penghargaan pada warisan peradaban (pusaka) sebagai bagian dari ciri-ciri lokal sudah tumbuh (kembali-?-). Namun, apa yang tidak ditulisnya adalah gejala putusnya hubungan emosional manusia dengan benda. Teknologi telah memungkinkan orang melakukan produksi massal, sehingga—sengaja atau tidak—manusia telah dianak-tirikan, manusia kini menjadi bawahan/subordinate teknologi. Kalau ukuran tubuh anda berada di antara small dan medium, misalnya, maka sudah menjadi suratan takdir anda untuk menggunakan kemeja kekecilan atau kebesaran. Kalau anda ingin memperoleh kemeja yang pas, maka anda harus mengeluarkan biaya ekstra untuk itu (tailor made), teknologi modern tidak dapat membantu untuk mengubah nasib anda; anda telah ditinggalkannya. Isu tragis semacam ini telah banyak dibicarakan dekat sebelum memasuki kurun yang disebut pasca modern.
Semua hasil produk teknologi modern telah diperhitungkan masa pakainya. Waktu Jepang membanjiri negera berkembang dengan produk industri otomotifnya, Inggris tidak mengira bahwa sepeda motor Matchless, BSA, Norton, atau Douglasakan tersingkir dengan begitu mudah dan cepatnya. Efisiensi teknologi yang diperhitungkan para perancang otomotif Jepang adalah 5 tahun; lewat masa itu, efisiensi teknologi mulai menurun dan pada gilirannya para pemilik mulai dirongrong untuk secara berkala pergi ke bengkel. Dengan begitu Jepang dapat menekan harga produksi begitu rendah, seperti dilakukannya juga oleh produsen arloji (e.g. Seiko) yang sempat menyapu bersih arloji Swiss dari pasaran, sehingga mampu menguasai pasar negara-negara berkembang. Alat tulis bergeser ke ballpoint, y.i. alat tulis yang dibuang begitu habis tintanya. Tentu saja, perilaku seperti ini terjadi bukan hanya pada ballpoint, melainkan terjadi juga pada semua produk industrial, dari kain baju (fesyen), buku, sampai ke kapal perang. Itulah gejala yang dinamakan throw-away culture, yang mencapai puncaknya pada dasawarsa 70-an. Sesudahnya, sekalipun masih ada sisa-sisanya, tabiat boros itu mulai dicerca oleh pecinta lingkungan.
Sekarang, para penentu kebijakan sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang melibatkan teknologi. Namun, lebih sering daripada tidak, mereka tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Teknologi itu datang menerjang dalam bentuk kemasan baru, dalam satu paket—y.i. perpaduan baru/The New Convergence—tidak hanya berlaku bagi perangkat kerasnya saja, tapi juga perangkat lunaknya/infoware, bahkan kerapkali menyangkut humanware (perangkat sumberdaya manusia, tenaga terlatih, &c.) dan orgaware-nya (perangkat organisasi/manajemen, kelembagaan, birokrasi, &c.) juga. Tatanannya sedemikian rupa, sehingga para penggunanya seperti terpasung kepada paket-teknologi yang dipakainya: boleh menyewa atau membeli perangkat lunaknya. Di luar itu para pemasok datang dengan berbagai bentuk perlindungan hak-cipta (copyright, patent, licence, &c.), royalti, atau denda(!) Ini masalah mutakhir yang mendunia: pilihan merupakan kemewahan tersendiri; khusus bagi golongan mampu atau penguasa. Negara-negara berkembang, y.i. yang jauh terlambat dalam pengembangan teknologinya itu, tidak berdaya menghadapi tatanan dunia yang cenderung merimba ini, siapa kuat bersaing dialah yang menang (re. neo-liberal, Washington Consensus; swastanisasi, pasar-bebas, minimalisasi peran pemerintah).
Teknologi masa kini bukan sekadar matadagangan atau komoditas. Dia sudah seperti gurita raksasa, yang menjangkau seluruh sistem. Teknologi—jadi juga perangkat-lunaknya, seperti perencanaan dan perancangan—sudah bersekutu, untuk tidak mengatakan bersenyawa, dengan politik; kalau bukan sebagai rekanan, ya sebagai pelayannya.
04 Kearifan Lokal
Kalau kebudayaan itu dapat dilihat sebagai mekanisme adaptif—seperti banyak dilakukan oleh para ahli antropologi—maka himpunan pengalaman empirik yang diperoleh dari interaksi antara manusia dengan lingkungannya dan dari perilaku menghadapi dan/atau mengelola lingkungan itulah yang mengendap, mengkristal, dan yang kemudian melembaga menjadi kearifan. Dari situ, kearifan dapat dikenali sebagai suatu kumpulan, gabungan, atau suatu paduan pengetahuan normatif yang otentik, y.i. pengetahuan yang terhimpun dari penghayatan-eksistensial—bukan sekadar pengalaman—sehari-hari. Istilah “penghayatan-eksistensial sehari-hari” di sini menjadi penting (instruktif) ketika dihadapkan dengan pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran akademik, melalui penggalangan aspek kognitif, seperti dari membaca, mendengar atau melihat, yang pada umumnya masih berjarak dengan kenyataan, yang pada hakikatnya masih berada di luar pengalaman, apalagi penghayatan-eksistensial, sehari-hari. Tentu saja pengetahuan kognitif pun berguna—antara lain, sebagai pembuka, sebagai arahan—untuk membentuk kearifan tertentu. Namun, jarak atau kesenjangan antara pengetahuan dengan pengalaman dan kemudian dengan penghayatan-eksistensial sehari-hari masih perlu ditempuh/dicakup oleh proses perenungan, pendalaman, atau pengendapan yang sesuai, yang cocok, atau yang sepadan dengan tabiat seseorang, untuk beberapa hal bahkan beserta dengan lingkungannya. Serupa betul dengan upaya seorang pesilat yang merenung untuk merasakan kembali tegang-kendurnya otot ketika dihadapkan dengan irama tarikan nafasnya dan detak jantungnya, lalu disimpan-nya ke dalam memori-hayati-nya, sesudah melakukan satu jurus. Kearifan, dengan begitu, bisa dikatakan sebagai pengetahuan yang bersifat umum (kognitif) namun telah dicelup oleh penghayatan-eksistensial pribadi.
Dari uraian itu, sesungguhnya kearifan selalu bersifat lokal atau personal. Namun, kalau proses-proses seperti ini terhimpun secara komunal (inter-personal), melalui kegiatan antar pribadi-pribadi suatu komunitas, di dalam suatu tatanan tertentu—y.i. sistem bahasa, sistem organisasi sosial & kemasyarakatan, sistem pengetahuan, dan berbagai sistem ikutannya yang bekerja di dalam suatu kasus kontekstual yang sama—misalnya melalui percakapan interaktif (dialog), atau sekadar kiprah pergaulan sehari-hari, diharapkan untuk pada saatnya nanti dapat menjadi suatu penghayatan-eksistensial kolektif, seperti gagasan memori kolektif-nya Jung.
Maka, dari situ, terciptalah suatu pakat sosial, yang dalam tatanan formal disebut kontrak sosial, yang merupakan perangkat normatif yang hidup dan dianut komunitas itu. Dilihat secara menyeluruh, akhirnya, kearifan itu menjadi bagian dari tradisi, merupakan bagian dari peradaban juga, atau modal sosial/budaya seperti dikatakan Lefebvre.
Sekarang, kalau kearifan lokal (komunal) itu dikaitkan dengan teknologi, maka masuklah unsur-unsur budaya yang berkaitan dengan bagaimana komunitas itu memandang dunia (weltanschaung). Bruno Stagno, dalam artikelnya yang sangat menarik, “Tropicality”, mengutip kalimat Jorge Luis Borges, sastrawan Argentina, sebagai pembuka, Saya telah menemukan apa yang diabaikan oleh orang Gerika: ketidak-pastian. Stagno mengaku sebagai arsitek yang basah kuyup dalam logika gerakan arsitektur modern, dan mencapai puncaknya ketika dia terlibat dalam beberapa proyek di bawah Le Corbusier. Maka jelaslah apa yang dimaksudkannya, yakni bagaimana seorang yang mewarisi peradaban Yunani yang rasional berjumpa dengan komunitas yang peradabannya berbeda, yang non-rasional. Lebih jauh, dia menuliskan pengalamannya:
Memasuki kawasan tropis, bagi saya, seperti tenggelam di dunia baru yang saya kenali selapis demi selapis. Saya merasa harus dapat beradaptasi agar dapat memahaminya. Saya yang terbiasa dengan cara berpikir dan menarik kesimpulan secara Cartesian, tiba-tiba dihadapkan kepada pengalaman sehari-hari yang menyebabkan saya menyangsikan keuniversalan penerapan metoda dan kelugasan logika rasionalnya. Saya mulai menyadari bahwa ada cara berpikir lain, yang dapat memperkaya pemahaman […]
Tidak usah berpanjang-panjang lagi, apa yang dibayangkan atau dicita-citakan oleh Prof. Josef Prijotomo dan Galih Pangarso tampaknya hinggap juga di benak Stagno, sekalipun datang dari ulah yang berbeda. Sebenarnya, Descartes—sumber awal cara berpikir yang diwarisi Stagno itu—menyadari juga keterbatasan pendekatan linearnya itu, namun sejak pencerahan (aufklarung, enlightenment), pendekatan tunggal-linear itu mulai menyebar ke mana-mana, tidak mau tahu akan keberadaan pendekatan yang lain (yang dapat menghasilkan si liyan, the Other, kata Prof Josef Prijotomo). Pendekatan yang lain itu, kata Stagno, tidak terlalu linear, karena itu tidak terlalu ngotot (single minded). Sejak awal mula, pendekatannya sudah dibentuk oleh kemustahilan atau keengganan mengutamakan satu variabel di atas variabel lainnya, justru karena kawasan tropis menyodorkan variabel yang nyaris takterbatas. Pendekatannya tidak berbanjar (sequencial) malah kadang-kadang sulit mengenali banjar atau tahapan apa pun. Karena itu, kesimpulannya tidak pernah pasti, sebab rumusannya itu bersifat relatif, transient, dan fluid Kita, katanya, menghadapi cara berpikir yang lebih memusatkan ke kesangsian daripada ke keniscayaan yang absolut (p.71). Stagno berpendapat bahwa kearifan tropis seperti itulah yang menyebabkannya malah tertindas hingga melahirkan hibridisasi kultural selama berabad-abad, namun, sambungnya, justru itu pulalah yang membuka kesempatan untuk munculnya local genius (=istilah dari saya, Stagno tidak menggunakan istilah itu), penyelesaian yang memadukan berbagai keadaan ekstrem, yakni penyelesaian yang autochthonous, lokal, vernakular, sebagai suatu penyelesaian alternatif (p.72).
Izinkan saya membuat salinan yang agak panjang tentang kesimpulan Stagno berkenaan dengan ciri-ciri tropikalitas yang menggambarkan sumber-sumber kearifan, yang diperolehnya dari perjalanannya ke kawasan tropis:
Dapat disimpulkan bahwa cara berpikir (penalaran) budaya tropis memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dari penalaran Cartesian. Hal itu terjadi karena penduduk di kawasan tropis melakukan kiprah penalarannya dengan caranya sendiri. Penalaran tropis itu beragam adanya, karena dia mencakupi berbagai variabel yang beragam yang hadir pada saat dan tempat yang bersamaan. Kiprahnya itu menghasilkan ungkapan budaya dengan keragaman yang kaya dan dengan segera dapat dikenali sebagai gaya hidup tropis. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa penalaran Cartesian itu linear, sementara penalaran tropis adalah spatial atau holistik sepenuhnya.
Barangkali, pencirian tropikalitas seperti yang dilakukan Stagno agak berlebihan, kalau bukan ekstrim, tapi, di balik itu, semuanya menjadi tampak jelas, setidak-tidaknya tropikalitas itu menjadi figure sang liyan, the Other. Membandingkan cara berpikir cartesian dengan non-Cartesian, sebenarnya, merupakan bagian dari cara Cartesian juga, segala sesuatunya menjadi dikotomik, hitam putih, seperti melakukan analisis figure-ground, sekalipun di sana sini tampak juga betapa membingungkannya suasana tropis itu bagi pengamat Cartesian:
Tropikalitas itu suatu sikap mental sebagai hasil dari penyerahan menyeluruh kepada semesta indrawi (sensualitas), mabuk disekap oleh kompleksitas. Begitu kita memperhatikan kenyataan itu (seringkali begitu memaksa dan tanpa pola), alih-alih menghilang tropikalitasnya oleh pembawaannya yang rambang, sebagai suatu keutuhan tersendiri, semuanya berkembang menjadi sesuatu yang amat beragam. Barangkali, justru oleh keragaman itu pulalah maka sulit untuk menguraikannya dan boleh jadi (demi penyelarasan diri dengan pembawaan tropikalitas) sebaiknya tidak berusaha untuk mengerti melainkan terjun langsung saja ke semesta alam keragaman itu. Keanekaan hayati merupakan pencerminan yang jelas akan kekayaan keberagaman yang kemudian muncul dalam kehidupan berkat eratnya hubungan antara manusia dengan alam. Kehadiran Ibu Pertiwi ditandai dengan bebasnya penikmatan indrawi beserta berimpitnya berbagai suasana berbareng dengan tumpah-ruahnya pengalaman. 

Tidak cukup dengan uraian yang berlipat-lipat itu, Stagno masih minta bantuan pula dari Mircea Eliade untuk mengisahkan kehadiran Ibu Pertiwi yang menghambur tanpa tanda atau aba-aba melambangkan kegembiraan proses penciptaan. […]You close your eyes in order to absorb a little taste of that marvelous richness and when you open them there is another panorama. […] Untuk memahami dunia tropis, kata Stagno, anda harus terjun menyelami semesta keragaman pemikiran yang akan menyadarkan anda bahwa ternyata segalanya memiliki makna yang berlapis-lapis.
Stagno juga membandingkan suasana tropis yang menyihir seperti lukisan hutan rimba oleh Henri Rousseau, gambaran lugas, membumi, harfiah, dan konkrit, dengan gambar manusia sempurna abad pencerahan, dengan proporsi geometris ideal, dan abstrak, oleh Leonardo da Vinci. Mustahil menangkap geometri tunggal di lebatnya hutan rimba Rousseau! Rupa-rupanya tropikalitas tidak mengenal abstraksi. Segala sesuatu lahir apa adanya, tumpang tindih, sekaligus dengan serbaneka keragamannya.
Sedikit lagi, lihat betapa sulitnya seorang Stagno mencoba menangkap suasana alam sehari-hari kawasan tropis:
Kehidupan di kawasan tropis berada di bawah lindungan abadi indrawi (sensuality). Hal ini digugah oleh kehadiran lebatnya tetumbuhan, di bawah langit dengan awan yang senantiasa berubah; oleh ayunan lembut tempat tidur gantung; oleh bujukan telau bayangan yang semakin teduh; oleh sepoi angin yang menyegarkan dan menghisap keringat jangat; oleh hujan, matahari yang menggelorakan dan lapis tabir fata morgana. Suara malam dipicu oleh alam yang jaga: suara kelopak kuntum ketika mekar, desir satwa yang menggeliat dan lewat, pekat dan tajamnya serbak kelembapan yang mengibas di udara.
Ini laporan etnografis pascamodern, begitulah kira-kira. Gambaran seperti ini menyiratkan suasana mental yang, barangkali memang itulah yang jadi sasaran pembahasan Stagno: suasana yang serba dimanjakan oleh alam, sehingga tidak jauh dari suasana seperti itu pulalah kearifan yang kiranya akan dibangkitkannya. Mereka tidak suka disebut lamban, meskipun di mata Stagno memang begitulah tampaknya. Tabiat tropis, kata Stagno, biasanya menyambut peradaban pencerahan seperti bunglon, sangat adaptif, dan terampil sekali bagaimana mereka meramu berbagai kemungkinan penyelesaian, sekalipun faktor keengganan untuk terlibat secara langsung selalu dihindari. Catatan ini mengingatkan orang pada gagasan Gregory Bateson (1949) tentang kondisi steady state masyarakat Bali, dilihat dari keberadaan faktor schismo-genesis(kecenderungan memisahkan diri). Bateson menyimpulkan bahwa masyarakat Bali berada di dalam keadaan statis oleh ketiadaan schismo-genesis, hingga tampak enggan melibatkan diri. Barangkali, sumbernya adalah bahwa […] The tropics are a festival of the senses, a carnival of feelings, tulisnya lagi. Lalu, sometimes, this excess of sensations produces, in an outside obeserver, an overwhelming confusion and bewilderment. […] Tropical thinking encompasses the hallmark traits of tropicality. This provide us with the basis for considering that there is no unique, universal logic and the evidence to prove that various forms of logic exist or cohabit on the planet. (79).
Begitulah, kearifan itu harus diselami dengan menelusuri alur-alur logika yang hidup dan bekerja di lingkungan sehari-hari mereka. Dan dalam situasi seperti ini, kalau keseluruhan tafsir Stagno bisa diterima, kawasan tropis memang selalu terbuka untuk instrusi teknologi apa pun.
Suatu tantangan tersendiri (lagi!).
05 Strategi Pelestarian
Gagasan pelestarian berkaitan dengan kesadaran sejarah, dengan pemahaman akan perjalanan waktu (time notion), atau dengan istilah historiografis, pemahaman akan perspektif waktu atau masa. Semestinya semua hal yang dikategorikan sebagai sesuatu yang perlu dilestarikan termasuk sesuatu yang memiliki kesejarahan, sesuatu yang oleh para pendukungnya dipandang memiliki nilai sejarah. Kesejarahannya dianggap penting dan karena itu perlu dihayati (e.g. Pancasila), dipelihara (e.g. Borobudur, Gunungan di Aceh), atau sekadar diperingati/dicatat agar lestari dalam ingatan para pewarisnya.
Historiografi, sekalipun sebagai suatu disiplin telah mapan (diakui), namun tak urung senantiasa mengalami perubahan dan pengembangan terus-menerus, terutama oleh kandungan tafsir-subyektif di dalamnya. Historiografi memang merupakan disiplin yang problematis. Sejarah ditulis orang, kata Keith Jenkins (1991), selain dilandasi oleh tujuan dan epistemologi, juga dilandasi oleh ideologi. Landasan terakhir itu seringkali menjadi batu sandungan dalam penulisan sejarah, seperti penulisan sejarah perjuangan nasional, misalnya, yang di dalamnya niscaya sedikit atau banyak terselip nada-nada pembelaan, sebab barang tentu penulisannya bertujuan untuk menaikkan kesadaran warganya akan semangat berbangsa dan bernegara, bela negara, membangkitkan semangat nasionalisme, atau patriotisme. Apalagi ketika pluralisme menjadi anutan, setidak-tidaknya kehadirannya akan menambah bahan-bahan pertimbangan menjadi semakin rumit, seperti dalam kurun zaman pascamodern sekarang ini. Karena itu, setiap penetapan pelestarian—termasuk di dalamnya ketetapan tentang hak cipta—membutuhkan perlindungan peraturan dan perundangan, yang penerapannya adakalanya membutuhkan peraturan-peraturan khusus.
Dalam kepustakaan arkeologi dan perancangan/perencanaan dikenal beberapa bentuk pelestarian, seperti konservasi, preservasi, restrukturisasi, beserta bagian-bagian daripadanya yang lebih khusus, seperti revitalisasi (suatu kawasan),adaptive reuse, land consolidation, atau dalam artian yang luas urban (re-) development yang biasanya mencakupi juga berbagai kawasan yang patut dilestarikan, misalnya kawasan yang belum dinyatakan steril secara arkeologis. Istilah teknis tersebut di atas umumnya diartikan untuk menangani hal-hal yang bersifat fisik.
Sejauh berkaitan dengan strategi pelestarian kearifan lokal sebagaimana dimaksudkan dalam pertemuan ini, tampaknya yang menjadi pusat perhatian lebih bersifat takteraga, non-fisik, seperti tradisi, nilai-nilai, norma, atau berbagai adat kebiasaan (ritual, perilaku), termasuk pemahaman/pandangan akan dunia spiritual-religius dan/atau kehidupan sehari-hari. Dari dikenalinya faktor-faktor itu, beberapa kasus konkrit yang merujuk langsung kepada hal-hal yang teraga akan lebih mudah dikenali pula.Hubungan manusia dengan lingkungannya, dengan sesamanya, dan dengan Tuhannya (sistem religi) merupakan sumber-sumber yang penting. Begitu pula perkara hubungannya dengan alam benda, dengan bahan-bahan bangunan yang biasa dipergunakan dalam pembangunan rumah, termasuk dengan sifat-sifat spiritualnya atau berbagai bentuk kepercayaan yang dianutnya secara turun-temurun. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya itulah yang melahirkan berbagai bentuk pengetahuan-lokal (local knowledge), yang indigeneous, atau autochthonous, seperti yang dibahas Stagno di atas. Secara sederhana, pengetahuan lokal ini, pada hakikatnya, merupakan kata lain untuk kearifan lokal. Dari dikenalinya faktor-faktor itu, beberapa kasus konkrit yang merujuk langsung kepada hal-hal yang teraga akan lebih mudah dikenali pula.
Pembahasan tentang tahapan peradaban mitik > ontologis > fungsional, mengikuti telaah Van Peursen seperti di atas (butir 03 Teknologi), dapat menjelaskan beberapa segi penggunaan peralatan beserta keterampilan-keterampilan (-lokal) yang berkembang di situ, setidak-tidaknya gambaran tentang proses-proses perubahan yang telah atau tengah berlangsung, apalagi kalau teknologi luar sudah masuk dan diterima/dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari hal-hal itu akan berkaitan dengan atau memiliki segi-segi fisik atau teraga. Dalam hubungan itulah pembicaraan teknologi memperoleh tempat.
Pengetahuan-lokal, pada umumnya merupakan pengetahuan empiris. Hasil terakhirnya, biasanya merupakan hasil terbaik, yakni hasil yang sudah teruji waktu dan lulus dari ujian berbagai keadaan, situasi dan kondisi, dalam jangka waktu yang cukup lama (bergantung ragam gejolak alami/kejadian yang pernah terjadi/dialami dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya. Habraken menamakannya type. Setiap komunitas memiliki type-nya masing-masing, sesuai dengan keadaan (iklim, flora-fauna, ketersediaan bahan, &c.) dan tantangan yang dihadapi di lingkungannya. Tentunya sebelum dia berjumpa (> akulturasi) dengan komunitas lain yang memiliki type yang lain namun yang dianggap cocok untuk digunakan di lingkungannya. Contoh terkenal adalah masuknya teknologi alat potong, y.i. pisau, parang, atau golok, dengan bentuk tertentu, yang senantiasa fungsional (membantu survival-nya) di antara masyarakat agraris. Begitu pula masuknya senapan—menggantikan, atau dipakai bersama, busur+panah, tombak, belati, katepel (pelontar batu), dan kapak-lontar—ke kalangan suku Indian Amerika selama penjelajahan kulit putih ke pantai Barat benua Amerika.
Hal menarik di sini adalah fenomena hubungan antara alat, atau teknologi pada umumnya, dengan ajaran (teaching) yang melatarbelakanginya. Disadari bahwa semua alat menambah kemampuan penggunanya (re. technology as the extension of man), sehingga semakin mahir seseorang menggunakannya semakin unggul kedudukannya di antara sebaya atau sesamanya. Dalam kedudukan seperti itu, alat menjadi bagian dari pribadi penggunanya (> fetishism). Gejala fetisisme seperti ini menciptakan hubungan emosional yang khas antara seseorang dengan peralatannya, seperti seorang Ken Arok dengan kerisnya (contoh anomali) atau King Arthur beserta 12 perwiranya (knights) dengan pedangnya masing-masing (simbolik), atau Zorro dengan cemetinya (identitas). Lepas dari mitos legendaris yang biasanya mengiringinya—sambil lalu, makna mitos/legenda ini pun bagian dari kearifan-lokal yang patut dilestarikan sebab kelak akan diwariskan kepada generasi berikutnya—dalam perkembangan peradaban selanjutnya, keunggulan-keunggulan seperti ini—yang kemudian tidak harus didampingi benda sebagai alat, tapi cukup dengan penguasaan pengetahuan/keterampilan khusus—selalu harus didampingi dengan penguasaan tatacara (etika) dan janji ikrar untuk memanfaatkannya dengan arif. Keterampilan seorang pemuda Toraja dalam memenggal leher kerbau, misalnya, menjadi rite de passage untuk memasuki status “dewasa”. Keberhasilannya memenggal dalam sekali tebas, akan mengundang decak kagum di antara sebaya atau tetuanya. Sebaliknya, di kalangan militer, sebagai contoh, hanya sesudah mencapai pangkat tertentu—asumsinya adalah bahwa pangkat itu mencerminkan kedewasaan dan kematangan tertentu—mereka diperkenankan menyandang senjata.
Contoh-contoh di atas dapat dikatakan sebagai gambaran keberadaan peralatan secara formal. Artinya keberadaan yang diakui eksistensinya di tengah komunitas dan kehidupan sehari-hari, sehingga ajaran yang diketengahkan pun bersifat formal, melibatkan semua warga, berupa adat istiadat, norma, atau nilai-nilai etika yang berkenaan dengan keberadaan dan/atau penggunaan perlatan. Sisi lain yang saya kira perlu dicermati juga adalah perkara riwayat ditemukannya alat atau lahirnya teknologi itu. Terutama dalam hal alat atau teknologi serapan, yang datang dari luar. Gambaran karikatural tentang bagaimana seseorang menggunakan bak-rendam (bathtub) untuk bak bunga, atau lemari es untuk menyimpan kain baju, sesungguhnya berkenaan dengan masalah ajaran juga. Serupa benar dengan apa yang dikatakan Alvin Toffler (1970) sebagai kejutan budaya (culture shock, dalam buku best seller-nya Future Shock).
Lebih mendasar lagi adalah tradisi-kerja (pragma, istilah sementara), yakni perilaku berbuat seseorang untuk menunjang kehidupan sehari-harinya sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungannya. Manusia sebagai organisme di tengah alam, selalu berusaha untuk mencapai taraf adaptasi yang untuk selanjutnya akan membutuhkan energi paling sedikit (>memadai), paling mudah (> memuaskan), paling cepat (> menyenangkan), paling efisien (tafsir fungsional modern). Untuk itu, melalui proses coba-coba, trial and error, yang tak mengenal lelah, dikembangkannya kompleks peralatan yang dipandang cocok, tepat-guna, appropriate—y.i. apa yang dinamakan type—untuk taraf peradaban suatu masa. Itulah “teknologi sejati”, yakni teknologi yang lahir sebagai hasil interaksi orang dengan lingkungannya secara otentik. Agregasi dari keseluruhan upaya adaptif manusia ketika berhadapan dengan lingkungannya, pada setiap taraf pencapaiannya, menghasilkan “gaya hidup” (dalam artian ontetik) yang juga mengandung suatu bentuk atau jenis pengetahuan-lokal, yang menyiratkan kearifan.
Namun, tamasya yang nyaris bersifat sorgawi, idyllic, romantis seperti itu sudah sulit dijumpai lagi dewasa ini. Ketika seseorang berhadapan dengan sebatang bambu, misalnya, sekarang ini, orang tidak lagi mengenal bambu itu sebagai bambu, melainkan sebagai batang silindris, berongga dan berbuku-buku, memiliki karakteristik tektonis lentur, kuat untuk tarik dan lemah untuk tekan. Bambu itu telah tercerabut dari konteks alaminya, dia telah menjadi batang abstrak (conjugate beam) yang di mata seorang arsitek memiliki unsur-unsur warna dan barik (texture) tertentu. Bambu itu sudah terasing dari tropikalitas-nya, berkat (atau laknat?) peradaban pencerahan yang sudah menyebar ke mana-mana. Orang tidak lagi mendengar kersik daun bambu ketika dibelai angin sepoi. Orang tidak lagi melihat telau-telau bayangan yang di lemparkan gelora sinar matahari, seperti yang dilaporkan Stagno.
Bambu itu sudah tinggal rangka.
06 Catatan Penutup
Rupa-rupanya, kearifan-lokal yang masih hidup atau yang dibayangkan pernah hidup di seantero Nusantara ini harus digali tuntas, ditafsir-ulang dan dikenali kembali sebagaimana Stagno telah mengupasnya selapis demi selapis, atau disadap dari tanah dan air yang kita ziarahi. Kalau pun kearifan itu tidak lagi bekerja, sudah ditinggalkan atau sudah berubah, maka tugas kita pertama-tama adalah mengenalinya kembali, setidak-tidaknya untuk memersempit medan penjelajahan baru agar lebih terpumpun (fokus), untuk tidak reinventing the wheel, sebab yakinlah bahwa kearifan itu telah menunjukkan keberhasilannya di masa lampau.
Mengapa pumpunan penjelajahan itu perlu dan harus jelas, tidak lain karena sempitnya waktu oleh tekanan obyektif, yakni perubahan iklim (pemanasan global). Barangkali, dalam beberapa hal, istilah lokal tidak lagi relevan, sekalipun bagaimana menyiasati iklim masih perlu becermin kepada kearifan historis. Kalau pun tidak semua, banyak kawasan di muka bumi ini akan berubah iklimnya. Itu berarti apa yang dinamakan sebagai pengetahuan lokal atau kearifan lokal itu bisa-bisa juga akan kembali ke titik nol, mulai lagi dari zero ground, sekalipun—sekali lagi—tidak berarti bahwa kita mulai dari titik nol, bukan mulai dari zero year lagi.
Catatan berikutnya adalah kebutuhan akan bahan-bahan rujukan, yang makin lama makin dirasakan oleh bidang arsitektur bukan hanya rujukan substantif melainkan juga yang prosedural. Sumber terpenting dalam kaitannya dengan upaya memahami atau mengembangkan arsitektur Nusantara, hemat saya adalah catatan etnografis. Edi Sedyawati, dalam makalah “Arsitektur Bandingan untuk Kajian Hubungan Antarbudaya,” menyiapkan suatu kerangka untuk ‘analisis secara kuantitatif berdasarkan rincian ciri-ciri yang dibuat setuntas mungkin’ dalam bidang arsitektur berdasarkan pengalaman penelitiannya mengenai pengarcaan Ganesya masa Kadiri dan Singhasari untuk disertasinya. Rincian ciri-ciri yang diidentifikasi setuntas-tuntasnya itu dipilahnya ke dalam enam kelompok, yakni 1) Ragam Bangunan; 2) Fungsi; 3)Penggunaan; 4) Makna Simbolik; 5) Struktur Morfologis; dan 6) Konstruksi. Kemudian masing-masing dibagi lagi ke dalam sejumlah rincian ciri-cirinya sampai tuntas-tas (exhaustive)—dengan rincian berdakik hingga mengkhusus sejauh lima digit; hasilnya tak kurang dari 10 halaman panjangnya—sambil mencari kaitan-kaitan satu bagian dengan bagian lainnya, seperti kaitan antara Struktur Morfologis dengan Fungsi, antara Ragam dengan Konstruksi, antara Makna Simbolik denganPenggunaan, dst. Itu pun masih disarankannya untuk memadukannya dengan data kualitatif yang bersumber dari kajian antropologi; dia tidak menyinggung catatan dari etnografi (memang, penelitian antropologi juga memanfaatkan data etnografi). Sri Rahayu Larasati Tunggadewi (2004), melalui disertasinya mengenai Kampung Naga, juga berusaha menggabungkan catatan etnografis dengan kategorisasi arsitektural, seperti yang disarankan Edi Sedyawati. Sedangkan catatan etnografis seperti yang dilakukan Bruno Stagno di atas itu merupakan pemerian yang sangat padat dengan nuansa kualitatif, semacam “pemerian-lebat,” dense/thick description yang ditonjol-tonjolkan Geertz. Buku-buku etnografi mutakhir, atau buku-buku yang ditulis sebagai respons terhadap kritik postmodernisme terhadapnya, mulai mengetengahkan isu-isu politik dan pemberdayaan, keberpihakan, dalam laporan-laporannya, laporan yang memadukan teks dengan konteksnya, atau teori dan praksis. Etnografi dewasa ini bukan hanya laporan pandangan mata, melainkan menyertakan ungkapan-ungkapan kreatif seperti karya sastra sejarah yang bersikap kritis dan berpihak tanpa menafikan realitas atau eksistensi kekuatan-kekuatan yang hidup di tengah masyarakat sehari-hari. Tulisan yang disunting Robin Patric Clair (State University of New York Press, 2003), misalnya, berjudul Expression of Ethnography, Novel Approaches to Qualitative Methods. Stephen Gilbert Brown & Sidney I Dobin (State University of New York Press, 2004), menyuntingEthnography Unbound, From Theory Shock to Critical Praxis, sekalipun masih merupakan makalah-makalah pendek, namun semangatnya adalah pendobrakan.
Etnografi pascamodern ini tidak langsung membuka wawasan ke arah teknologi. Namun demikian, tafsirnya yang menukik ke kawasan perilaku, barangkali akan dapat memudahkan perkiraan-perkiraan selera kerjanya (pragma) dan bersamaan dengan itu pilihan-pilihan perlatannya.
Ini suatu tantangan tersendiri: dunia yang kian terbuka, berarti semakin banyak bahan rujukan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan khazanah pengetahuan arsitektur sehari-hari.
__________________
Bandung, 31 Mei 2008
Kepustakaan
· Boorstin, Daniel J. (1978): The Republic of Technology; New York: Harper & Row.
· Sedyawati, Edi: “Arsitektur Bandingan untuk Kajian Hubungan Antarbudaya,” dalam Henry Chambert-Loir & Hasan Muarif Ambary, eds. (1999): Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard; Ecole française d’Extrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Yayasan Obor Indonesia; pp.173-185.
· Tzonis, Alexander, Liane Lefaivre, Bruno Stagno, eds. (2001): Tropical Architecture, Critical Regionalism in the Age of Globalization; Chichester: Wiley-Academy.
Catatan
Materi dalam artikel ini telah dipresentasikan di Seminar Nasional Jelajah Arsitektur Tradisional Nusantara dalam Menemukenali Teknologi Berbasis Kearifan Lokal, yang diselenggarakan di Makassar pada tanggal 2 Juni 2008, oleh PUSLITBANGKIM-PU.
SHARE

About Unknown

    Berikan Tanggapanmu...!
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

JASA DESAIN & RENOVASI RUMAH DI KOTA KENDARI

BACA JUGA BERITA TERKINI LAINNYA