Menjadi arsitek bagi warga minoritas di Jakarta tak pernah terbayang dalam benak Sri Suryani (27 tahun). Namun disinilah ia kemudian menemukan banyak teman, bertemu dengan masyarakat dan belajar untuk merumuskan cara bagaimana membuat kota menjadi kokoh, menjadi tempat yang nyaman bagi masyarakat marjinal. Menurut Sri Suryani, pembangunan adalah tidak dengan cara menggusur, namun bagaimana membuat semuanya bisa hidup secara bersama-sama.
Sri adalah arsitek muda lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kemudian memutuskan untuk belajar Urban Design and Development di London, Inggris tahun 2015 lalu setelah mendapatkan beasiswa. Dalam perjalanannya ia kemudian banyak bertemu dengan masyarakat yang akhirnya membuat Sri “jatuh cinta” pada pinggiran kali Ciliwung. Dalam usianya yang relatif muda, Sri menjadi arsitek di Ciliwung Merdeka, organisasi yang mempunyai keberpihakan pada masyarakat yang tinggal di pinggiran kali Ciliwung dan masyarakat pinggiran Jakarta. 4 tahun ini ia ikut melakukan advokasi pada masyarakat dan para korban penggusuran di Jakarta.
Ia adalah perempuan muda yang memilih hidup berbeda. Bersama masyarakat Ciliwung, ia ikut berjuang dalam gempuran penggusuran kota Jakarta:
1.Mengapa bergabung di organisasi Ciliwung Merdeka?
Ini adalah cara saya untuk membayar. Selama ini saya kuliah di negeri (ITB) dan kemudian saya bisa ke London karena beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dari pemerintah. Dan inilah cara saya membayar, yaitu dengan memilih bekerja untuk masyarakat. Ini cara saya berterimakasih.
2. Mengapa tertarik dengan arsitek dan ruang untuk masyarakat marjinal?
Sejak tugas akhir kuliah ketika saya di ITB, saya mengambil tugas soal perkampungan. Dari situ saya bertanya: bagaimana cara membuat solusi dari arsitek yang dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat?. Dan ketika saya mulai bekerja, saya lalu juga melihat bahwa arsitek selalu identik dengan pembangunan. Ternyata lama-lama saya berpikir bahwa arsitek itu seharusnya bekerja untuk masyarakat. Karena isu perkotaan nyata-nyata tidak pernah lepas dari isu kebijakan, penataan kota da juga terhubung dengan isu sosialnya dan isu politiknya. Disitulah kemudian saya tertarik untuk serius mempelajarinya.
3. Apakah ini yang kemudian mendorong untuk terus belajar mengenai konsep ruang yang adil bagi masyarakat?
Setelah memutuskan kuliah di London di tahun 2015, kemudian saya banyak melihat konteks arsitek dari kacamata yang lebih besar. Disana saya banyak bertemu anak-anak muda dan mahasiswa dari sejumlah negara yang berbeda, dari Afrika, Brasil, Inggris, Amerika dan Asia. Dari sana saya melihat arsitek sangat berperan dalam pembangunan kota, walau ada banyak hal-hal lain yang berperan. Disana juga saya belajar bagaimana media mem-framing isu perkotaan dan bagaimana kita harus menjawab ini sebagai tantangan. Semua kita lihat dari sisi sosial dan politiknya.
Akhirnya yang paling penting bagi saya adalah arsitek ini bukan belajar tentang bangunan saja karena semua selalu ada teksnya. Tidak hanya konteks, tapi teks juga. Dulu saya membayangkan bahwa arsitek hijau itu harus membangun pasar dan kebun warga yang hijau-hujau yang hasilnya bisa dijual ke pasar dan mereka bisa beli disana juga, namun banyak dosen yang kemudian bertanya secara kritis, memang sesederhana itu? Apa gunanya tanaman hijau itu? Bagaimana mereka hidup selanjutnya?
4. Bagaimana proses transformasi belajar disana?
Saya lebih banyak belajar ilmu dari tinjauan kritis. Satu tahun belajar ini dan berikutnya ketika kami belajar soal design, kami sudah belajar soal dikotomi-dikotomi pada masyarakat miskin. Dan karena saya belajar di barat (Inggris) pasti ada sisi politisnya. Ada yang bisa dipakai teori dan pengalamannya, namun ada yang tidak. Tapi yang jelas saya disana merasakan bahwa teks itu selalu konteks, karena benturan persoalan di sebuah negara belum tentu sama dengan di negara lain. Misal berbicara soal arsitek dan ruang kesetaraan di Perancis, yaitu soal bagaimana membangun arsitek ramah perempuan, apakah ini bisa dibumikan disini? karena sejarah dan sistem budayanya juga tidak sama.
Yang menarik ketika kami belajar soal kebijakan perumahan. Para mahasiswa di setiap negara kemudian memberikan presentasi soal ini. Mahasiswa di Nigeria misalnya presentasi soal rumah karena disana ada diskursus soal material rumah itu adalah yang dibangun di atas batu-bata. Lalu pertanyaannya, apakah rumah selalu harus berasal dari batu-bata? Dan yang bukan batu-bata berarti bukan rumah ? Maka ini harus selalu dikontekskan dengan negara dan kebijakan.
Di London, Inggris disana menggunakan kebijakan perumahan yang sentralistik dari pemerintah. Sekarang pemerintah melepaskan sedikit demi sedikit kebijakan atas rumah ini, jadi publik bisa menjualnya sendiri dan akhirnya jual beli rumah ini masuk ke sistem pasar dan harga rumah menjadi mahal. Warga yang tidak punya rumah akhirnya harus pindah ke tempat yang jauh. Problem soal rumah di Inggris ini hampir sama dengan di Jakarta.
Yang paling membuat saya kagum sebenarnya teman-teman dari Brasil dan Amerika Latin. Mereka sangat vokal, gerakannya kuat dan pemikirannya matang. Mereka berjuang secara konsisten dan cepat dalam berpikir. Strategis cara berpikirnya. Mereka berbeda dari mahasiswa di negara-negara lain.
Kalau mahasiswa Inggris dan Amerika sangat senang berdebat, karena disana memang ada kebiasaan bahwa tidak ada yang salah dengan berbeda pendapat. Maka berdebatlah terus. Berbeda dengan budaya di Indonesia yang jika berbeda dan terlalu banyak berdebat akan dianggap jelek dan salah. Ini yang kemudian menggugah saya untuk berpikir berbeda.
5. Lalu ketika pulang ke Indonesia, apa yang anda lihat soal kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam menata kota?
Thesis saya kemudian mengambil kasus soal penggusuran di Jakarta, salah satunya bagaimana arsitektur berperan dalam satu kebijakan publik dan diciptakan untuk memberikan satu wacana yang membuat publik menyetujuianya. Intinya bagaimana melihat penggusuran sebagai sebuah problem kota Jakarta. Yang saya lihat, cara membaca masyarakat Indonesia tentang penggusuran ini dipengaruhi oleh media, bukan dari persoalan sesungguhnya. Akibatnya ketika menanggapi isu perkotaan, banyak kalangan yang melihat isu perkotaan dari kacamata media yang sangat politis dan melakukan propaganda . Jadi disinilah peran arsitektur, yaitu mengajak masyarakat untuk kembali melihat penggusuran dari persoalan nyata. Jadi thesis saya isinya yaitu melihat penataan kota dalam kerangka yang lebih luas: arsiteknya atau bangunannya, bagaimana kebijakan pemerintahnya, bagaimana hidup masyarakatnya dan bagaimana media kemudian menjadi alat propaganda untuk penggusuran kota.
6. Jadi bagaimana menyelesaikan persoalan tata ruang kota Jakarta? Apakah harus dengan melakukan penggusuran?
Awalnya ketika Jokowi menjadi Gubernur, saya melihat sempat ada perubahan, yaitu warga diberikan pelatihan soal urban framing dan Jokowi juga bisa ditemui untuk diajak berdialog. Nah, peliknya ketika Jokowi kemudian jadi presiden dan digantikan oleh Ahok. Ahok kemudian berbeda pendekatannya.
Ahok membuat rumah susun dan warga harus menyewa dengan cara membayar sewa ke bank. Pertanyaannya, apakah ada dialog dengan menggusur dan kemudian memindahkan masyarakat ini? Karena kenyataannya pemerintah memindahkan warga ke tempat yang lebih jauh. Tidak ada fasilitas yang mendukung dan mereka juga jauh dari akses ekonomi. Ini yang menjadi persoalan berikutnya. Ciliwung Merdeka adalah organisasi dimana kemudian mempertemukan saya dengan banyak kebutuhan real warga, dengan persoalan-persoalan yang mereka alami sehari-hari.
7. Apa rencana selanjutnya, ingin terus membela masyarakat korban pembangunan kota?
Iya pasti, karena ini cara saya membayar, yaitu dengan bekerja bersama masyarakat. Mungkin nanti mau sekolah, tapi itu belum ada dalam pikiran saya, masih jauh.(sumber: konde.co)
0 komentar:
Post a Comment