Pengembang-pengembang besar di Indonesia, terutama Jakarta, seringkali lebih memilih jasa arsitek asing dibandingkan lokal dalam mendesain proyek properti mereka. Padahal, arsitek dari Indonesia telah membuktikan diri di kancah internasional.
"Ini menjadi sebuah cerminan ketidakpercayaan para pengembang terhadap arsitek lokal. Tetapi, tidak bisa disangkal pula karena tuntutan investor, maka mereka menggunakan arsitek asing. Kami tidak menuntut, tapi memang perlu waktu untuk membuktikannya," kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, Her Pramtama ketika dihubungi Kompas.com di Jakarta, Jumat (15/6/2012) petang.
Pramtama mengatakan, kebutuhan dana dari investor luar negeri membuat pengembang menggunakan tenaga perencana, pelaksana, serta pemeliharaan dari luar negeri. Namun, kondisi ini harusnya bisa disikapi secara bijak oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah perlu membuat aturan serta kebijakan terkait peran arsitek lokal.
"Di Singapura dan Malaysia, pemerintahnya membuat aturan yang melibatkan arsitek lokal dalam pembangunan properti. Ketika arsitek asing masuk, mereka diharuskan bermitra dengan arsitek lokal sehingga membuat arsitek belajar serta menunjukkan kemampuannya. Pemerintah harusnya membuat regulasi tepat untuk ini, jangan sampai arsitek Indonesia jadi penonton di rumahnya sendiri," ujarnya.
Pramtama menilai arsitek Indonesia maju dalam bidang kreativitas dan inovasi tanpa bermaksud menyombongkan diri, hal tersebut sudah pernah dibuktikan lewat karya-karya arsitektur yang telah terbangun. Pada era Presiden Soekarno, misalnya, bermunculan proyek mercusuar di Kota Jakarta. Sebut saja Gedung DPR/MPR di Senayan, Stadion Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, serta Wisma Nusantara.
"Bahkan Wisma Nusantara pada waktu itu menjadi gedung tertinggi pertama dan sempat menjadi pilot project untuk kajian peraturan bangunan tinggi di Jepang. Saat itu memang ajang penghargaan belum ada, namun karya-karya arsitektur ini layak diapresiasi sampai sekarang," ujarnya.
Pramtama mengatakan, kebutuhan dana dari investor luar negeri membuat pengembang menggunakan tenaga perencana, pelaksana, serta pemeliharaan dari luar negeri. Namun, kondisi ini harusnya bisa disikapi secara bijak oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah perlu membuat aturan serta kebijakan terkait peran arsitek lokal.
"Di Singapura dan Malaysia, pemerintahnya membuat aturan yang melibatkan arsitek lokal dalam pembangunan properti. Ketika arsitek asing masuk, mereka diharuskan bermitra dengan arsitek lokal sehingga membuat arsitek belajar serta menunjukkan kemampuannya. Pemerintah harusnya membuat regulasi tepat untuk ini, jangan sampai arsitek Indonesia jadi penonton di rumahnya sendiri," ujarnya.
Pramtama menilai arsitek Indonesia maju dalam bidang kreativitas dan inovasi tanpa bermaksud menyombongkan diri, hal tersebut sudah pernah dibuktikan lewat karya-karya arsitektur yang telah terbangun. Pada era Presiden Soekarno, misalnya, bermunculan proyek mercusuar di Kota Jakarta. Sebut saja Gedung DPR/MPR di Senayan, Stadion Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, serta Wisma Nusantara.
"Bahkan Wisma Nusantara pada waktu itu menjadi gedung tertinggi pertama dan sempat menjadi pilot project untuk kajian peraturan bangunan tinggi di Jepang. Saat itu memang ajang penghargaan belum ada, namun karya-karya arsitektur ini layak diapresiasi sampai sekarang," ujarnya.
sumber :http://www.iai-jakarta.org/
0 komentar:
Post a Comment